Hukum Mendengarkan atau Menyanyikan Lagu dan Musik
Hukum Mendengarkan atau Menyanyikan Lagu dan Musik
Musik atau lagu mungkin sudah tidak asing dilingkungan
sekitar kita, di berbagi media baik tv, radio, internet dll membuat musik
menyebar dengan luas. Dari artis papan atas sampai penyanyi penyanyi local.
Masalah Menyanyikan Lagu
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah)
dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian
beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
“Sesungguhnya
akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan
alat-alat musik (al-ma’azif).”
[HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
sebagaimana sabda Rasulullah saw,
”Akan ada dari umatku orang-orang yang menghalalkan khomr,
babi, sutera dan musik.” (HR. Bukhori) dan didalam lafazh yang lain
disebutkan,”Ada orang-orang dari umatku yang akan meminum khomr, menamakannya
dengan bukan namanya, memainkan musik diatas kepalanya dengan alat-alat musik
dan para penyanyi wanitanya maka Allah akan menenggelamkan mereka kedalam bumi
dan menjadikan sebagian dari mereka menjadi monyet dan babi.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun dalil yang menghalalkan nyanyian diantaranya :
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata:
“Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Masalah Mendengarkan Lagu
Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat
bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
Imam al-Ghazali
berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan
perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati.
Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan
mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar
ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya
pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan
perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya,
bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara
teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang
mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung
kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung
kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya
haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka
hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya,
melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi
kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut
tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan
disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di
awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat
dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman
keras.Hal ini tentu dilarang. Musik dapat menjadi makruh bahkan bisa haram
ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan
kewajibannya kepada Allah swt.
0 comments:
Post a Comment